Sebenarnya berat untuk menulis ini, namun karena ini adalah pengalaman yang tak mungkin saya lupakan jadinya saya torehkan disini semoga bisa menjadi pelajaran hidup untuk saya dan bagi yang membacanya.
Yashhh, sesuai judul diatas, hari-hari saya lalui dengan pikiran negatif. Waktu itu habis menjalankan tugas kenegaraan di daerah dan esok harinya balik ke kota. Sesampainya di kota tanggal 2 Juli saya pun langsung di rapid test karena memang anjuran kantor bahwa bagi siapa saja yang telah melakukan perjalanan dinas di luar kota agar melakukan rapid test. Tanpa istirahat terlebih dahulu, belum sempat makan siang dengan perjalanan kurang lebih 3 jam saya langsung ke klinik tempat pengambilan sampel darah. Mata senduh pikiran melayang sambil menahan nafas, sebuah jarum suntik masuk di pembuluh darahku, uhhg perih sih tapi saya gak selebay orang-orang yang berteriak merintih kesakitan. Mata kubuka, jarum pun keluar dari pembuluh darahku, terlihat sebuah tabung berukuran kecil berisikan darahku sebagai sampel untuk di uji di laboratorium.
Rapid Test
Sore harinya hasil rapid test saya keluar, hasilnya reaktif. Hasil tersebut mengindikasikan bahwa di dalam tubuhku kemungkinan terdeteksi covid-19. Perasaan saya luluh lantak tidak karuan, saya yang hidup sebatang kara di Kota dan cuman ngekost tidak tahu mau berbagi cerita kepada siapa. Saya tidak mungkin menginformasikan hasil tersebut kepada orang tuaku di kampung, saya takut membuatnya sedih dan khawatir, lagian ini cuman reaktif doang belum tentu positif. By the way, memang seminggu sebelum saya melakukan rapid test, saya merasakan sakit-sakit tenggorokan, pilek hingga menyebakan indra penciuman saya hilang. Saya tidak dapat mencium bau parfum saya, apalagi ketika pup saya tidak mencium apa-apa. Mungkin karena itu makanya hasilnya reaktif, namun berbagai spekulasi lain mengatakan bahwa saya reaktif karena habis dari luar kota langsung rapid padahal lagi lelah-lelahnya apalagi belum makan harusnya istirahat dulu minimal sehari. Wallahu a’lam. Dari sini mungkin kita bisa belajar bahwa selain demam, sesak nafas, kelelahan, kehilangan penciuman pun bisa jadi salah satu gejala dari covid-19.
Swab Test I
Untuk memastikan hasil rapid itu, keesokannya saya swab test di RS. Ini adalah kali pertama saya di tes beginian, dari pemberitaan di berbagai media tes ini rada-rada ngeri juga sih. Benar saja, setelah giliranku untuk swab test, sebuah benda mirip cotton bud berukuran panjang sekitar 15 cm dimasukkan ke dalam lubang hidungku sampai di pangkal-pangkalnya. Seandainya ada lubang yang tembus ke mata mungkin benda tersebut akan tembus ke bola mata. Air mataku keluar seketika, bukan karena mengingat kampung halaman tapi karena rasa perih akibat benda yang di masukkan itu. Belum cukup sampai disitu, langkah selanjutnya suster mengambil benda itu lagi, lalu memasukkan kedalam tenggorokanku, kebayang dong bagaimana rasanya memasukkan benda berukuran sekitar 15 cm ke dalam tenggorokan. Yah mual, bukan karena hamil tapi geli-geli tidak enak. Lagian saya laki masa iya hamil. Pffftt. Nah, teman-teman yang mau menjalani swab agar jangan makan sebelumnya, kalaupun harus makan setidaknya 1 jam sebelum swab agar pada saat benda itu di masukkan dalam tenggorokan makanannmu tidak kamu muntahkan dari perut ketika mual. Saran aja yah. Mungkin ada yang bertanya, kenapa benda itu menjolok sampai di pangkal-pangkal hidung dan tenggorakan? Itu dilakukan supaya benda itu dapat menjangkau lendir terdalam kita yang dibutuhkan untuk pengujiannya. Jangan bertanya lagi, kenapa harus lendir, kalaupun lendir kan kita bisa di suruh meludah lalu ludah itu nanti di cocol-cocol sama susternya pakai benda itu, beress. Ahhhhrg, jangan bikin bingung saya. Silahkan tanyakan pada ahlinya.
Setelah swab, saya harus menunggu sekitar 1 minggu baru hasilnya keluar. Hari-hari saya lalui termenung dan bertanya-tanya dalam hati kok bisa yah saya reaktif pada saat di rapid test, saya dapat virus dari mana, saya selalu pakai masker dan mencuci tangan. Adapun gejala-gejala kehilangan penciuman toh saya rasakan seminggu sebelum rapid. Sambil menunggu hasil swab, saya terus berdoa kepada Allah swt. agar hasil dari tes itu negatif. Saya pun yakin hasilnya pasti negatif karena saya merasa sehat-sehat saja, tidak merasakan gejala covid-19 pada umumnya seperti demam, sakit kepala, batuk ataupun sesak nafas. Karena tidak merasakan gejala tersebut, saya hanya isolasi mandiri di kamar, berbeda ketika orang yang bergejala harus melalui perawatan intensif di RS. Enam hari telah berlalu, tepat di tanggal 9 Juli saya mendapat telepon dari petugas medis menginfokan bahwa hasil swab test saya positif terinfeksi virus covid-19. Ya Allah ini cobaan apa yang engkau berikan? Hatiku sangat terguncang, seketika saya membayangkan kehidupan di Surga atau Neraka. Agak parno sih, hahaha. Tapi, saya tidak boleh larut dalam kesedihan itu, bukankah untuk melawan virus ini, imun harus di jaga? Selain imun, iman pun harus sejalan. Oyah, sebelum saya mendapat kabar dari petugas tersebut, hampir saja saya pulang kampung karena sebelumnya saya juga mendapat kabar dari kakakku bahwa nenek saya di kampung meninggal dunia. Betul-betul hari itu sepertinya hari yang sangat bersedih sepanjang hidupku. Saya terinfeksi virus covid-19 dan pada hari yang sama saya tidak dapat pulang kampung melihat nenekku untuk terakhir kalinya.
Pada kondisi ini memaksa saya untuk mengabari statusku kepada orang tua di kampung. Mungkin ini terlalu egois bagi saya lancang membuat mereka bersedih dan khawatir, namun bagaimanapun saya harus mengabarinya karena doa orang tua dikabulkan Tuhan. Ibuku seketika menelpon saya, menanyakan kabarku sambil menangis saya pun ikut menangis. Ibuku ingin menjenguk saya ketika itu, namun saya melarangnya karena akan lebih berbahaya ketika ibuku datang, virus yang bersemayam dalam tubuhku bisa tertular ke dia nantinya. Akhirnya, saya hanya meminta kepada ibuku dan keluarga di kampung untuk mendoakan saya agar lekas sembuh. Saya menambah kesedihan ibuku, dia yang baru saja kehilangan ibunya ditambah kabar yang tak mengenakkan dari saya.
Swab Test II
Berselang
1 minggu kemudian, 15 Juli saya menjalani swab
test yang kedua. Berbagai persiapan yang saya lakukan sebelum tes tersebut
seperti berjemur dan berolahraga setiap pagi, minum obat-obatan yang telah
diberikan oleh dokter. Ada 5 macam obat yang diberikan, saya minum semua
meskipun sebenarnya saya sehat-sehat saja, dengan harapan pada swab kedua ini hasilnya negatif. Yah
negatif. Tapi entah kenapa setelah
saya swab test yang kedua ini justru bermunculan
penyakit lain seperti sesak dada, ngantuk yang berlebihan, bibir kering,
sariawan, pilek. Saya semakin takut akan hasilnya. Setelah saya konsultasi ke
teman-teman saya, katanya gejala itu muncul karena saya rajin minum obat
padahal saya tidak sakit.Alhasil, 6 hari kemudian hasilnya keluar dan hmmmmm positif lagi. Kata
dokter saya tidak boleh berkecil hati, ini wajar virusnya memang masih ada tapi
katanya sisa bangkai-bangkainya. Pffftt.. Okey, bararti virusnya sudah mati, tenang yah bebeb Zul.
Swab Test III
Atas hasil tersebut terpaksa saya harus menjalani swab yang ketiga pada 25 Juli. Sebelum swab pada kali ini saya minum ramu-ramuan yang disarankan oleh para leluhur kita. Saya juga menghentikan meminum obat yang diberikan oleh dokter. Selain ramu-ramuan, sebelum swab saya juga minum air garam. Ckckckck, agak gila sih, tapi ini saya dapatkan hasil dari googling. Ini semua saya lakukan supaya mendapatkan hasil negatif. Saya selalu berdoa kepada Tuhan Yang Maha Kuasa semoga hasil swab ketiga saya negatif. Namun sepertinya Allah melatih saya untuk lebih bersabar lagi, karena ketika hasilnya keluar di Surat Keterangan dokter tertulis masih terinfeksi virus tersebut.
Gelisah, galau, merana. Yah begitulah perasaanku. Kok bisa sih saya yang sehat-sehat aja masih divonis sakit begini. Saya berbagi cerita ke teman dekatku. “Guys, di swab ketigaku saya masih terinfeksi, pffftt, gimana dong”. Tidak sedikit mereka men-support saya agar tetap bersabar, mungkin ini cara Allah untuk mengistirahatkan saya sejenak dari rutinitas kerja di kantor, sebagian berpendapat bahwa itu hanya bisnis-bisnisnya saja RS, bagaimana mungkin virus itu masih ada sedangkan saya sudah isolasi mandiri selama 25 hari, harusnya cuman butuh 14 hari virus itu hilang. Sebagian juga menyarankan untuk swab selanjutnya dilakukan di RS yang berbeda. Bagaimana dengan orang tuaku? Yapss, mereka selalu menyemangati agar lekas sembuh, begitupun dengan saya selalu mengabari ke mereka bahwa saya baik-baik saja. Saya tidak mau membuat keduanya larut dalam kesedihan.
Swab Test IV
Setelah berbagi cerita kepada teman dan berkabar ke orang tua. Saya berserah diri, saya pasrahkan semua kepada Allah. Saya tidak memiliki persiapan lagi selain olahraga pagi. Saya tidak minum lagi obat-obatan dan ramu-ramuan. Saya merasakan ketenangan dan damai di jiwa. Dipikiranku, swab selanjutnya harus negatif. Tiap siang dan malam saya selalu memanjatkan doa agar hasil saya negatif. Dengan langkah penuh keyakinan, untuk swab ke 4 ini saya memutuskan untuk melakukannya di RS yang berbeda. Pada tanggal 6 Agustus saya menjalani swab yang ke empat. Tidak ada lagi rasa sakit yang saya rasakan ketika benda sepanjang 15cm itu di masukkan dalam hidung dan tenggorokanku, saya sudah terbiasa, saya sudah kuat, ini demi hasil negatif agar bisa kembali beraktivitas seperti sedia kala. Dan, Alhamdulillah, wasyukirillah, ketika hasilnya keluar saya dinyatakan bebas dari virus ini, dengan kata lain hasilnya negatif.
Swab Test V
Dengan hasil negatif pada swab keempat, saya masih harus menjalani swab yang kelima untuk mendapatkan negatif lagi. Dengan 2 kali negatif berturut-turut dapat dipastikan virus itu benar-benar terhempas dari tubuhku. Saya melangkahkan kaki dengan ucapan bismillah ke RS untuk melakukan swab yang kelima pada tanggal 13 Agustus. Sambil menunggu hasil keluar, saya mulai aktif juga untuk melakukan kerjaan kantor dengan konsep WFH (Work From Home), rutin olahraga dengan tetap jaga jarak. Saya menjalani hidup dengan penuh percaya diri. Alhamdulillah tepat di Hari Ulang Tahun Republik Indonesia yang ke 75 Tahun, 17 Agustus 2020 saya dihubungi oleh petugas swab yang menyatakan hasil saya negatif. Saya sangat bersyukur akhirnya kesabaran saya membuahkan hasil, terima kasih kuhaturkan kepada Allah swt. kedua orang tua, dan juga rekan-rekan semua atas doa dan dukungannya. Merdekaaaa..!!
Penantian panjang (2 Juli- 17 Agustus) selama 47 hari dengan selalu berpikir "kapan yah saya negatif" adalah bukan perkara yang mudah. Namun, dibalik itu banyak hal-hal positif yang saya dapatkan. Untuk mengisi kekosongan selama 47 hari, saya luangkan untuk menambah pembendaharaan kata saya melalui baca buku, mengerjakan beberapa pekerjaan kantor (by email), menghadiri kajian islami secara virtual serta mengikuti beberapa seminar dan pelatihan melalui webinar. Di era new normal ini, mari bersama memperhatikan protokol kesehatan covid-19 dengan 3 M yaitu: (1) Menggunakan masker, (2) Mencuci tangan dengan sabun dan air mengalir atau dengan handsatizer, dan (3) Menjaga jarak.
Dibalik kisahku ini, saya percaya bahwa everything happens for a good reason, daun yang jatuh pun Allah sudah atur. Saya selalu berprasangka baik, bahwa mungkin ini cara Allah menegur saya agar selalu dekat dengannya, ini cara Allah untuk mengistirahatkan saya dibalik padatnya rutinitas kantor. Alhamdulillah, Allah mengembalikan nikmat sehat yang dulu ia cabut. Kini saya kembali beraktivitas bersama teman-teman dan berkumpul bersama orang tua seperti biasanya. Hmmm, rindu terobati.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar